Senin, 13 Agustus 2012

GODRIC’S HOLLOW


GODRIC’S HOLLOW

            Malam itu hujan dan berangin, dua anak berpakaian seperti labu kuning berjalan bergoyang seperti bebek di seberang lapangan, dan etalase toko-toko dihiasi laba-laba kertas, semua barang Muggle yang mentereng tapi tak berharga untuk mencerminkan dunia yang tak mereka percayai. . . Dan dia meluncur di sepanjang jalan itu, merasakan kemantapan, kekuasaan, dan kebenaran dalam dirinya yang selalu dikenalinya pada kesempatan-kesempatan seperti ini. . . Bukan kemarahan. . . Itu untuk jiwa-jiwa yang lebih lemah daripadanya. . . Namun kemenangan, ya. . . Dia telah menunggu ini, dia telah mengharapkan ini. . .
            “Kostum yang bagus, Mister!”
            Dia melihat senyum anak laki-laki kecil itu menghilang ketika dia berlari cukup dekat untuk melihat di bawah kerudung jubahnya, melihat ketakutan menyelimuti wajahnya yang dicat, kemudian anak itu berbalik dan berlari. . . Di bawah jubahnya dia meraba pegangan tongkat sihirnya. . . Satu gerakan sederhana dan anak itu tak akan pernah mencapai ibunya. . . Tapi tak perlu, sungguh tak perlu. . .
            Dan sepanjang jalan baru dan lebih gelap dia bergerak, dan sekarang tujuannya sudah tampak akhirnya, Mantra Fidelius-nya sudah punah, meskipun mareka belum mengetahuinya. . . Dan suara yang dibuatnya lebih pelan daripada bunyi daun-daun gugur yang bergeser di trotoar ketika dia tiba di pagar tanaman yang gelap dan memandang lewat atasnya. . .
            Mereka tidak menutup gordennya, dia bisa melihat mereka cukup jelas di ruang keluarga mereka yang kecil, si laki-laki jangkung berambut hitam dengan kacamatanya, membuat kepulan-kepulan asap warna-warni meluncur dari ujung tongkat sihirnya untuk menghibur seorang anak laki-laki kecil berambut hitam dalam piama birunya. Anak itu tertawa-tawa dan berusaha menangkap asap, menggenggamnya dalam tangannya yang kecil. . .
            Sebuah pintu terbuka dan si ibu masuk, mengucapkan kata-kata yang tak bisa didengarnya, rambutnya yang panjang dan merah-gelap terjurai ke wajahnya. Sekarang si ayah mengangkat anak itu dan menyerahkannya kepada si ibu. Dilemparkannya tongkat sihirnya ke sofa dan dia menggeliat, menguap. . .
            Gerbang berderit sedikit ketika dia mendorongnya membuka, tetapi James Potter tidak mendengarnya. Tangannya yang putih mencabut tongkat sihir di balik jubahnya dan mengacungkannya ke pintu, yang langsung menjeblak terbuka.
            Dia sudah melewati ambang pintu dan James cepat-cepat berlari ke ruang depan. Mudah sekali, terlalu mudah, dia bahkan tidak mengambil tongkat sihirya. . .
            “Lily, bawa Harry pergi! Dia yang datang! Pergilah! Lari! Akan ku tahan dia─”
            Menahannya, tanpa tongkat sihir di tangannya! . . . Dia tertawa sebelum meluncurkan kutukan. . .
            Avada Kedavra!”
            Cahaya hijau memenuhi ruang depan yang penuh barang, membakar kereta bayi yang ditaruh di dekat dinding, membuat pegangan tangga membara seperti penangkal kilat, dan James Potter jatuh terpuruk seperti boneka bertali yang talinya dipotong. . .
            Dia bisa mendengar si ibu menjerit dari lantai atas, terperangkap, namun asal dia bersikap bijaksana, baginya, paling tidak, tak ada yang perlu ditakutkan. . . Dia menaiki tangga, mendengarkan dengan agak geli usahanya untuk membarikade dirinya. . . Dia juga tak membawa tongkat sihir. . . Betapa bodohnya mereka, dan betapa mudah percaya, mengira bahwa keamanan mereka terletak pada teman-teman mereka, bahwa senjata bisa diletakkan bahkan untuk sekejap saja. . .
            Dia membuka pintu dengan paksa, menyingkirkan kursi dan dos-dos yang tadi cepat-cepat ditumpukkan di belakang pintu dengan satu lambaian malas tongkat sihirnya. . . Dan itu dia berdiri, si anak dalam pelukannya. Begitu melihatnya, dia menjatuhkan anaknya ke dalam ranjang bayi di belakangnya dan membuka tangannya lebar-lebar, seolah ini akan membantu, seolah dengan menutupinya sehingga tak tampak, dia berharap dialah yang akan ganti dipilih. . .
            “Jangan Harry, jangan Harry, kumohon jangan Harry!”
            “Minggir, perempuan bodoh. . . Minggir sekarang. . .”
            “Jangan Harry, kumohon jangan, bawalah aku, bunuh aku sebagai gantinya─”
            ”Ini peringatan terakhirku─”
            “Jangan Harry! Tolong. . . Kasihanilah. . . Kasihanilah. . . Jangan Harry! Jangan Harry. . . Kumohon─ akan kulakukan apa saja─”
            “Minggir─ minggir, perempuan─”
            Dia bisa memaksanya menyingkir dari ranjang bayi, tetapi rasanya lebih bijaksana menghabisi mereka semuanya. . .
            Cahaya biru menyambar ke sekeliling ruangan dan dia ambruk seperti suaminya. Anak itu tidak menangis selama ini. Dia bisa berdiri, mencengkeram jeruji ranjang bayinya, dan dia mendongak memandang wajah si penyerang dengan sangat berminat, mungkin mengira ayahnyalah yang bersembunya di balik jubah, membuat lebih banyak cahaya-cahaya indah, dan ibumya akan muncul lagi setiap saat, tertawa─
            Dia mengarahkan tongkat sihirnya sangat hati-hati ke wajah anak itu: dia ingin melihatnya terjadi, pembinasaan bahaya yang tak bisa dijelaskan ini. Anak itu mulai menangis, dia telah melihat bahwa dia bukan James. Dia tak suka melihat anak itu menangis, dia tak pernah bisa tahan mendengar anak-anak kecil merengek di panti asuhan─
            Avada Kedavra!”
            Dan kemudian dia hancur: dia bukan apa-apa lagi, kecuali kesakitan dan kengerian, dan dia harus menyembunyikan diri, tidak di sini di puing-puing rumah yang hancur, tempat si anak terperangkap dan menangis menjeri-jerit, tetapi pergi jauh. . . Pergi jauh. . .

Sumber : Harry Potter and The Deathly Hallows

Tidak ada komentar:

Posting Komentar